Rabu, 17 September 2008

Teori dan isu pembangunan

  1. Perkembangan paradigma dan strategi pembangunan

Pembangunan sebagaimana realita pada umumnya, menjadi kegiatan untuk membangun dirinya sendiri (self projected reality) yang kemudian menjadi acuan dalam proses pembangunan. Pembangunan seringkali menjadi semacam alat kepentingan bagi rezim pemerintahan yang berkuasa (ideology of developmentalizm). Kesadaran suatu bangsa yang terbentuk melalui pengalamanya, baik pengalaman sukses maupun kegagalan-kegagalan yang dialami, amat menetukan interpretasi mereka tentang pembangunan. Namun, karena pengalaman suatu bangsa yang mempengaruhi kesadaran tersebut selalu berkembang dinamis, makainterpretasi mereka tentang pembangunan tidaklah statis. Melalui mata rantai perumusan dan demisifikasi paradigma pembangunan, terjadilah pergeseran-pergeseran aradigma tadi.

Kecenderungan negara-negara maju seringkali dilakukan dengan cara mengambil unsur yang baik saja tanpa mempertimbangkan factor ekololgi yang melatarbelakangi prestsi negara-negara maju yang sesungguhnya dicapai melalui waktu berabad-abad dengan perjuangan kerja keras dari bangsanya untuk mencapai prestasi. Keinginan imitasi (bukan inovasi) inilah yang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini telah mendorong akselerasi tempo pergeseran paradigma pembangunan di negara-negara berkembang.

Berikut akan diuraikan secara berturut-turut beberapa paradima pembangunan, yaitu :

1. strategi pertumbuhan (growth strategy)

Dimulai pada sekitar dasa warsa 1960-an, banyak negara-negara duniaketiga meniru pendekatan “growth priority” yang memfokuskan diri akumulasi capital nasional, dengan GNP sebagai ukuran keberhasilannya. Dengan ditingkatkan pendapatan perkapitadiharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan yang dihadapi negara dunia ketiga dapat terpecahkan.

Melalui pendekatan ini, memang pada akhirnya banyak negara berkembang telah terbukti berhasil meningkatkan akumulasi capital dan pendapatan perkapitanya. Namun, keberhasilan paradigma pertumbuhan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah membawa berbagai akibat yang negative terutama dampak social dan lingkungan hidup.

Dorongan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang setingginya seringkali mengakibatkan terabaikannya upaya pembinaan kelembagaan dan pembinaan kemampuan masyarakat. Pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui centrally imposed blueprint plan (korten, 1984) yang dirumuskan oleh para teknokrat terhadap alokasi sunber-sumber pembangunan cenderung sentralistik dan mengintervensi potensi masyarakat dan menumbuhkan hubungan ketergantungan antara rakyat dan birokrat. Oleh sebab itu sifatnya menjadi dis-empowering dan kurang menekankan pada kemampuan masyarakat itu sendiriuntuk mengaktualisasikan segala potensinya.

Gejala lain yang mencemaskan adalah pembangunan ekonomi yang mengutamakan proses industrialisasi (khususnya industrialisasi pada modal) yang menyebabkan peningkatan pengangguran dan kemniskinan perkotaan serta kesemrawutan pengaturan pemukiman tata kota dimana berpusat sebagian terbesar industri-industri yang baru berdiri.

Untuk mengatasi masalah ini, menurut Ahluwalia (1979) dapat ditanggulangi melalui suatu kombinasi kebijaksanaan, yang meliputi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, usaha pemerataan yang lebih besar dalam pembagian pendapatan dan penurunan laju pertumbuhan penduduk.

2. pertumbuhan dan pemerataan (growth with distribution)

menyadari kelemahan strategi pertumbuhan maka pendekatan pembangunan dinegara berkembang bergeser pada “growth with distribution” dengan strategi utamanya “employment-oriented development”. Strastegi ini pertama kali dikemukakan oleh singer (1972) dalam sebuah kertas kerja untuk misi lapangan kerja ILOke Kenya. Growth with distribution menggambarkan 4 pendekatan pokok yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan golongan miskin (Richard jolly, dalam wie, 1989). Keempat pendekatan itu adalah:

1) meningkatkan laju pertumbuhan GNP sampai tingkat maksimal dengan jalan meningkatkan tabungan dan mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien, yang manfaatnya dapat dinikmati oleh semua golongan masyarakat.

2) Mengalihkan investasi ke golongan miskin dalam bentuk pendidikan, menyediakan kredit, fasilitas-fasilitas umm dan sebagainya.

3) Mendistibusikan pendapatan atau konsumsi kepada golongan miskin melalui system fiscal atau melalui alokasi barang-barang konsumsi secara langsung.

4) Pengalihan harta atau tanah yang sudah ada kepada golongan-golongan miskin misalnya melalui land reform

Focus dari strategi ini mengarah pada penyediaan atau penciptaan lapangan pekerjaan secara langsung bagi masyarakat, sebagai alat untuk mendistribusikan pertumbuhan dan kesejahteraan yang dihasilkan oleh mesin ekonomi nasional. Namun pendekatan ini pada akhirnya memang juga terbukti gagal, karena “world employment program” yang diperkenalkan oleh ILO lebih bersifat “comprehensive employment strategies” dengan konsekwensi teknologi tinggi yang bersifat “capitel intensive” sehingga hanya orang-orang yang berpendidkan dan berketrampilan yang dapat diserap oleh lapangan pekerjaan yang diciptakan (Amdt, 1989). Sementara mereka yang tidak berpendidikan dan berketrampilan yang jumlahnya 60% dari seluruh angkatan kerja, tetap berada diluar jangkauan distribusi kesejahteraan nasional.

3. teknologi tepat guna (appropriate technology)

kegagalan dari teknologi yang “capital intensive” dalam penyediaan lapangan kerja dari sebagian besar penduduk dunia ketiga, telah memicu lahirnya pendekatan baru yang disebut teknologi tepat guna seperti tertulis di dalam “Columbia report”. Filosofis dari pendekatan ini menyatakan bahwa perluasan kesempatan kerja tidak harus dilakukan melalui pengembangan pola-pola kebutuhan masyarakat, melainkan juga dapat dilakukan melalui penciptaan barang –barang produksi melalui cara-cara yang bersifat padat karya (amdt,1989).

Pendekatan ini diyakini lebih sesuai diterapkan di negara-negara barkembang karena melalui teknologi tepat guna ini sumber daya local yang tersedia daspat dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan penduduk. Pendekatan ini juga diyakini lebih bersifat labor intensive; less skill intensive; dan smaller scale (Meier, 1989)pendekatan ini sering juga disebut sebagai “intermediate technology” yang intinya merupakan sintesa dari capital intensive technology dan handycraft technology.

Misi teknologi tepat guna ini adalah mengurangi pengangguran melalui perluasan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan melalui peningkatan produktifitas kerja, mempersiapkan masyarakat untuk mampu menerima perubahan dan pembaharuan teknologi, meningkatkan dinamika dan kreativitas masyarakat dalam berfikir dan bekerja, dan melatih sikap mandiri (mardjono dan sumanto, 1988).

Namun pendekatan ini pada akhirnya juga dianggap tidak dapat memuaskan usaha-usaha penciptaan pemerataan pendapatan dan pertumbuhan nasional dalam rangka mengurangi jurang kesenjangan ekonomi dan social. Hal ini disebabkan keterbatasan pengembangan teknologi tepat guna di negara-negara sedang berkembang yaitu :

1. tidak adanya institusi yang secara khusus bertugas untuk mengembangkan teknologi tepat guna.

2. selisih harga yang cukup besar antara teknologi impor dengan menciptakan sendiri teknologi baru didalam negri.

3. system nilai yang tidak mendukung ( Herrick dan kindleberger, 1983 )

4. kebutuhan dasar pembangunan ( basic needs development )

orang pertama yang menganjurkan strategi kebutuhan dasar pembangunan ini adalah Mahbub ul Haq ( 1973 ) dari Bank dunia. Haq menyebutkan pendekatan ini sebagai serangan langsung terhadap kemiskinan. Penganjr kedua ialah James Grant, presiden dari Overseas Development Council.

Grant berpendapat bawa kebutuhan dasar dari satu milyar orang yang paling miskin di dunia ini dapat dipenuhi, jika negara-negara kaya melipatgandakan bantuan mereka yang dipusatkan pada kebutuhan dasar rakyat yang hidup dalam kemiskinan absolute.

Konsep dasar dari pendekatan ini adalah penyediaan kebutuhan minimum bagi penduduk yang tergolong miskin. Kebutuhan minimum yang dimaksud tidak hanya terbatas pada pangan, pakaian, dan papan saja melainkan juga kemudahan akses pada pelayanan air bersih, sanitasi, transport, kesehatan dan pendidikan.

5. pembangunan berkelanjutan ( sustainable development )

ide dasar dari konsep “ sustainable development “ bermula dari “the club of rome “ pada tahun 1972, yakni kelompok orang yang terdiri dari : para menejer, ahli ilmu teknik dan ilmuwan se eropa yang berhasil menyusun suatu dokumen penting mengenai keprihatinan terhadap linkungan yang disebutnya sebagai “ the limits to growt “ ( friedmann, 1992 ). pesan penting dari dokumen tersebut diantaranya : bahwa sumber daya alam telah berada pada suatu tingkat ketersediaan yang memprihatinkan dalam menunjang keberlanjutan pertumbuhan penduduk dan ekonomi.

Kehancuran yang serius pada hutan-hutan di eropa barat, terjadinya oil shock tahun 1983, kelaparan di benua afrika, menurunnya kualitas lingkungan di negara-negara tropis, semakin menipisnya lapisan ozon, efek rumah kaca yang menyebabkan “global warming”, telah menunjukkan betapa seriusnya masalah linkungan hidup. Apabila perubahan tidak segera dilakukan maka dunia akan segera menemukan kehancurannya. Maka perubahan harus dimulai dari negara-negara yang dianggap bersalah ( negara-negara industri ) dalam mengembangkan kerusakan bumi. Perhatian kepada kelestarian hutan-hutan tropis dinegara miskin mulai menjadi agenda penting dunia. Disinilah kemudian konsep “ sustainable “ menemukan kelahirannya. Sustainability diartikan sebagai suatu pembanguna untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merugikan generasi yang akan datang.

6. konsep pemberdayaan ( empowerment concept )

konsep ini dibidani oleh friedmann ( 1992 ) muncul karena adanya dua hal yakni kegagalan dan harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan l,ingkngan yang berkelanjutan. Sedangkam harapan, muncul karena adnya alternative-alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demikrasi, persaamaan gender, persamaan antar generasi, dan pertumbuhan ekonimi yang memadai. Menurut friedmann, kegagalan dan harapan bukanlah merupakan alat ukur dari hasil kerja ilmu-ilmu social, melainkan lebih merupakan cermin dari nilai-nilai normative dan moral.

Konsep “ Empowerment “, sebagai suatu konsep alternative pembangunan, pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, yang berlandas pada sumber daya pribadi, langsung, melalui partisipasi, demokrasi, dan pembelajaran social melalui pengalaman langsung. Sebagai titik fokusnya adalah persoalan lokaliyas, sebab civil society akan lebih siap diberdayakan melalui issue-isue local. Namun friedmann juga mengingatkan bahwa adalah sangat tidak realistis apabila kekuatan ekonomi dan struktur-sturktur diluar “ civil society “ diabaikan oleh karena itu pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas factor ekonmi saja namun juga secara politis, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar baikl secara nasional maupun international.

7. pembangunan berpusat pada manusia (people center development)

sejak tahun 1969 pembangunan di Indonesia dilaksanakan berdasar pada pelita-pelita. Sejak pelita I sampai pelita VI sesuai yang tercantum dalam GBHN, titik berat diberikan pada pembangunan ekonom. Strategi kebijaksanaan pembangunan bertumpu pada trilogy pembangunan yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan pembangunan, stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

  1. pembangunan dunia ketiga

secara teoritis, pendekatan pembangunan di negara dunia ke tiga dilakukan berdasarkan lima pendekatan model pembangunan, yaitu:

a) model structural

b) model budaya

c) model psikology

d) model konflik

e) model proses

Istilah dunia ke tiga biasanya dimaksudkan sebagai sebutan bagi kelompok negara -negara yang terbelakang.Dunia pada saat itu dilihat dari pola kemajuannya yang ditandai dengan klasifikasi tiga kelompok Negara yaitu:

1. Dunia pertama (Dunia bebas atau blok Atlantik meliputi Eropa non-komunis dan Amerika Utara)

2. Dunia Kedua (Meliputi Negara-negara Eropa timur dan Uni soviet)

3. Dunia ketiga ( Meliputi Asia,Afrik dan Amerika latin)

Secara geografis posisi Negara-negara Dunia Ketiga terletak di sekitar dan di selatan khatulistiwa,sedangkan Dunia Pertama dan Dunia Kedua disebelah utara khatulistiwa.di dalam kelompok Dunia Ketiga terdapat Negara-negara yang paling miskin di Dunia yang secara perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat terbelakang.Namun Negara-negara tersebut mempunyai Sumber Daya Alam yang sangat potensial untuk mencapai kemajuan pembangunan dan kesejahteraan dikemudian hari.

Oleh karna itu ada beberapa nama tambahan yang diberikan kepada Negara-negara yang termasuk dalam konsep Dunia Ketiga(the third world):

Ø Negara terbelakang(backward countries)

Ø Negara yang belum maju(Under developed countries)

Ø Negara selatan(North south countries)

Ø Negara-negara miskin(Un-developing countries)

Apapun nama yang diberikan kepada Dunia Ketiga,pada umumnya Negara-negara tersebut mempunyai ciri-ciri umum yang sama yakni:kemiskinan,kebodohan dan keterbelakangan.(3K)yang antara lain diukur dari indicator growth national product(GNP) per kapita,pendapatan bersih per kapita,jumlah pemakaian energi perkepala,jumlah melek huruf,tingkat kematian bayi(infrant mortality rate)dan ukuran indicator-indikator sosial yang lain.

Lebih lanjut Todaro(1978),Schoorl(1980)dan Mirdal(1980)mengungkapkan sejumlah karakteristik Dunia Ketiga yang ditinjau dari aspek social dan ekonomi sebagai berikut:

1) Tingkat kehidupan yang rendah,ditandai dengan rendahnya pendapatan perkapita,rendahnya tingkat pertumbuhan pendapatan nasional,dan kurangnya pemerataan.

2) Makanan yang kurang ditandai dengan ukuran kalori yang bergizi rendah yaitu rata-rata kurang dari 2500 kalori.

3) Struktur agrarian yang lemah dan tingkat produksi yang rendah.Fenomena ini sering disebut sebagai pertanian subsisten.(subsistence agriculture)

4) Kegiatan industri yang kurang dan tidak berkembang.

5) Sumber tenaga kerja sebagian besar bersifat manual(konvensional)dan kurang digerakkan oleh mesin.

6) Ketergantungan ekonomi Negara berkembang pada Negara maju,terutama pada bantuan luar negeri(aids).

7) Perkembangan ekonomi yang pincang,dimana sector perdagangan dan jasa di Negara yang sedang berkemabang terlalu maju dibandingkan dengan sector pertanian dan industri.

8) Struktur social yang lemah ,dimana sebagian besar system social masih didominasi oleh system feudal atau semi feudal yang kurang menunjang adanya proses modernisasi.

9) Kelas menengah tidak begitu maju,terutamja dalam bidang perkembangan ekonomi.

10) Kurangnya integrasi nasional,terutama ditandai dengan adanya ketidak stabilan di bidang politik,ekonomi dan keamanan.

11) Tingkat pengangguran dan pengangguran tidak kentara(terselubung)yang besar,termasuk pemborosan penggunaan waktu yang tidak penuh dan in-efisiensi terutama dalam pelaksanaan tugas.

12) Tingkat pendidikan dan pengajarannya yang lemah.

13) Angka kelahiran yang tinggi(fertility rate)

14) Keadaan tingkat kesehatan dan gizi yang rendah

15) Orientasi budaya nasional yang masih bergantung pada kekuatan alam.

16) Laju perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Negara terbelakang(Dunia Ketiga)cenderung menurun dan stagnasi.

Ada bermacam teori yang menerangkan hubungan antara Negara berkembang (developing countries)dengan Negara maju(developed countries),antara lain:

A) Teori Dependensia:

Menurut teori ini,Negara berkembang swecara ekonomi sangat bergantung pada Negara maju,misalnya dalam hal modal,IPTEK,politik maupun militer.

B) Teori Interdependensia:

Teori ini merupakan reaksi dari teori dependensi,dimana menurut teori interdependensi Negara maju ternyata juga bergantung pada Negara berkembang.

C) Teori Stratifikasi Internasional atau Teori Perebutan Pengaruh(Sphere of Influence Theori) :

Teori ini merupakan teori sosiologi sebagai aplikasi teori stratifikasi social yang menyebutkan bahwa setiap Negara pada dasarnya memiliki kemampuan dan kelebihan tertentu,misalnya kekuatan,kekayaan,pendidikan dan prestise.jika masing-masing tersebut diberi angka penilaian,maka Negara-negara yang memiliki skore lebih tinggi akan memiliki pengaruh lebih besar dari pada Negara-negara yang memiliki score lebih rendah.

D) Teori Perjuangan Kelas Internasional:

Teori ini menyebutkan bahwa untuk Negara-negara yang kebetulan memiliki skore yang relative ama ,maka akan membentuk kelas dan kekuatan yang baru.masing-masing kelas mempunyai kepentingan sendiri-sendiri untuk diperjuangkan yang sering kali menimbulkan konflik dengan kelas lain.Teori ini kemudian dijadikan dasar bagi analisis teori konflik.

E) Teori Pusat-Periferi,Metropol-Satelit:

Teori ini mengajarkan bahwa eropa dan amerika utara dapat di umpamakan sebagai pusat(kekuatan),sedangkan Negara lainya dianggap Negara pinggiran(periferi).pusat disebut juga metropol atau pusat perkembangan,sedangkan satelit idak lain fungsinya hanya pengikut saja tidak dikendalikan oleh metropol.

F) Teori Imperialisme Struktural

Teori ini merupakan kolaborasi dari teor Pusat-Periferi dan Metropol-Satelit.Yang dimaksudkan dengan imperialisme disini ialah pola hubungan antar Negara.Teori ini bersifat eksploitatif(Struktural).

Bryant dan White dalam bukunya managing development in the third World (1982)menjelaskan arti pembangunan duia ketiga sebagai suatu tindakan(Doing)dan sebagai suatu kemampuan(Being)

Pembangunan sebagai suatu peningkatan kemampuan untuk mengendalikan masa depan,megandung beberapa implikasi teoritis antara lain:

1) Kemampuan(capacity).

2) Kebersamaan(Equity).

3) Kekuasaan(Empowerment).

4) Ketahanan atau Kemandirian(Sustainability).

5) Kesaling tergantungan(Interdependence).

Dengan adanya kemampuan itu diharapkan setiap Negara secara nyata bisa berdiri sama tinggi,duduk sama rendah di berbagai hubungan dan forum internasional.wawasan pembangunan seperti ini,merupakan sebuah konsep multidimensional.

Selasa, 16 September 2008

Sejarah Pemilu di Indonesia

Selasa, 16 September 2008 | 16:11 WIB

Delapan Pemilu Yang Lalu
* Ringkasan Sejarah Pemilu di Indonesia


Sudah delapan kali kita, bangsa Indonesia, menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara. Pemilu yang akan kita lakukan 2004 mendatang adalah yang ke-9. Sementara Pemilu 2004 masih dalam tahap persiapan, ada baik-nya mengetahui bagaimana Pemilu-pemilu yang lalu dilaksanakan dan seperti apa hasilnya.

Selain itu apakah perubahan-perubahan yang terjadi di dalam peraturan atau undang-undang yang mengatur Pemilu yang satu ke Pemilu berikutnya. Sebagai contoh bisa disebut di sini bahwa dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 tidak ada perubahan apa-apa dalam sistem pembagian kursi DPR. Tentu perubahan di bidang lainnya ada juga. Data mengenai perolehan suara tiap Pemilu juga tetap merupakan informasi yang baik untuk diketahui.

Uraian ini tentu tidak mengupas segala hal mengenai sejarah Pemilu yang sudah 8 kali tadi. Terlalu banyak hal yang harus dicakup. Karena itu informasi mengenai hal-hal lain yang menunjang pemahaman mengenai sejarah pemilu di Indonesia juga disediakan di bagian atau tulisan-tulisan lain.


Pemilu 1955

Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.

Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.

Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.

Keterlambatan dan ?penyimpangan? tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.

Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.

Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.

Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.

Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.

Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkom-petisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No Partai/Nama Daftar Suara % Kursi
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57
2. Masyumi 7.903.886 20,92 57
3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45
4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39
5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 2,89 8
6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8
7. Partai Katolik 770.740 2,04 6
8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5
9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 541.306 1,43 4
10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 483.014 1,28 4
11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2
12. Partai Buruh 224.167 0,59 2
13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 219.985 0,58 2
14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2
15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2
16. Murba 199.588 0,53 2
17. Baperki 178.887 0,47 1
18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 178.481 0,47 1
19. Grinda 154.792 0,41 1
20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 149.287 0,40 1
21. Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1
22. PIR Hazairin 114.644 0,30 1
23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.131 0,22 1
24. AKUI 81.454 0,21 1
25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1
26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 72.523 0,19 1
27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1
28. R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1
29. Lain-lain 1.022.433 2,71 -
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah 37.785.299 100,00 257


Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut:

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------
No. Partai/Nama Daftar Suaraa % Kursi
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.218 23,97 119
2. Masyumi 7.789.619 20,59 112
3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,47 91
4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.512 16,47 80
5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.059.922 2,80 16
6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 988.810 2,61 16
7. Partai Katolik 748.591 1,99 10
8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10
9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 544.803 1,44 8
10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 465.359 1,23 7
11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3
12. Partai Buruh 332.047 0,88 5
13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 152.892 0,40 2
14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2
15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 179.346 0,47 3
16. Murba 248.633 0,66 4
17. Baperki 160.456 0,42 2
18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 162.420 0,43 2
19. Grinda 157.976 0,42 2
20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 164.386 0,43 2
21. Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3
22. PIR Hazairin 101.509 0,27 2
23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 74.913 0,20 1
24. AKUI 84.862 0,22 1
25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1
26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 143.907 0,38 2
27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1
28. R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1
29. Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1
30. Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1
31. Radja Keprabonan 33.660 0,09 1
32. Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI) 39.874 0,11
33. PIR NTB 33.823 0,09 1
34. L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1
lain-lain 426.856 1,13
Jumlah 37.837.105 514



Periode Demokrasi Terpimpin

Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.

Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang ? meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.

Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.

Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.


Pemilu 1971

Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.

Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.

Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.

UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.

Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.

Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.

Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.

Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.

------------------------------------------------------------------------------------
No. Partai Suara % Kursi
------------------------------------------------------------------------------------
1. Golkar 34.348.673 62,82 236
2. NU 10.213.650 18,68 58
3. Parmusi 2.930.746 5,36 24
4. PNI 3.793.266 6,93 20
5. PSII 1.308.237 2,39 10
6. Parkindo 733.359 1,34 7
7. Katolik 603.740 1,10 3
8. Perti 381.309 0,69 2
9. IPKI 338.403 0,61 -
10. Murba 48.126 0,08 -
------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah 54.669.509 100,00 360



Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997

Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.

Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.

Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.


Hasil Pemilu 1977

Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.

Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.

PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.

PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No. Partai Suara % Kursi % (1971) Keterangan
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Golkar 39.750.096 62,11 232 62,80 - 0,69
2. PPP 18.743.491 29,29 99 27,12 + 2,17
3. PDI 5.504.757 8,60 29 10,08 - 1,48
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah 63.998.344 100,00 360 100,00
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Hasil Pemilu 1982

Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No. Partai Suara DPR % Kursi % (1977) Keterangan
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Golkar 48.334.724 64,34 242 62,11 + 2,23
2. PPP 20.871.880 27,78 94 29,29 - 1,51
3. PDI 5.919.702 7,88 24 8,60 - 0,72
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah 75.126.306 100,00 364 100,00
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Hasil Pemilu 1987

Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.

Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No. Partai Suara % Kursi % (1982) Keterangan
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Golkar 62.783.680 73,16 299 68,34 + 8,82
2. PPP 13.701.428 15,97 61 7,78 - 11,81
3. PDI 9.384.708 10,87 40 7,88 + 2,99
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah 85.869.816 100,00 400
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Hasil Pemilu 1992

Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.

PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka?bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.

Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No. Partai Suara % Kursi % (1987) Keterangan
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Golkar 66.599.331 68,10 282 73,16 - 5,06
2. PPP 16.624.647 17,01 62 15,97 + 1,04
3. PDI 14.565.556 14,89 56 10,87 + 4.02
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah 97.789.534 100,00 400 100,00
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Hasil Pemilu 1997

Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.

PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.

Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No. Partai Suara % Kursi % (1992) Keterangan
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Golkar 84.187.907 74,51 325 68,10 + 6,41
2. PPP 25.340.028 22,43 89 17,00 + 5,43
3. PDI 3.463.225 3,06 11 14,90 - 11,84
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah 112.991.150 100 425 100,00
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.


Pemilu 1999

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.

Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.


Hasil Pemilu 1999

Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.

Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:

Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999.

Nomor Nama Partai
1. Partai Keadilan
2. PNU
3. PBI
4. PDI
5. Masyumi
6. PNI Supeni
7. Krisna
8. Partai KAMI
9. PKD
10. PAY
11. Partai MKGR
12. PIB
13. Partai SUNI
14. PNBI
15. PUDI
16. PBN
17. PKM
18. PND
19. PADI
20. PRD
21. PPI
22. PID
23. Murba
24. SPSI
25. PUMI
26 PSP
27. PARI


Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.

Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.

Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.

Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997. Selengkapnya hasil perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat dalam tabel di bawah.

-----------------------------------------------------------------------------------------------
No. Nama Partai Suara DPR Kursi Tanpa SA Kursi Dengan SA
-----------------------------------------------------------------------------------------------
1. PDIP 35.689.073 153 154
2. Golkar 23.741.749 120 120
3. PPP 11.329.905 58 59
4. PKB 13.336.982 51 51
5. PAN 7.528.956 34 35
6. PBB 2.049.708 13 13
7. Partai Keadilan 1.436.565 7 6
8. PKP 1.065.686 4 6
9. PNU 679.179 5 3
10. PDKB 550.846 5 3
11. PBI 364.291 1 3
12. PDI 345.720 2 2
13. PP 655.052 1 1
14. PDR 427.854 1 1
15. PSII 375.920 1 1
16. PNI Front Marhaenis 365.176 1 1
17. PNI Massa Marhaen 345.629 1 1
18. IPKI 328.654 1 1
19. PKU 300.064 1 1
20. Masyumi 456.718 1 -
21. PKD 216.675 1 -
22. PNI Supeni 377.137 - -
23. Krisna 369.719 - -
24. Partai KAMI 289.489 - -
25. PUI 269.309 - -
26. PAY 213.979 - -
27. Partai Republik 328.564 - -
28. Partai MKGR 204.204 - -
29. PIB 192.712 - -
30. Partai SUNI 180.167 - -
31. PCD 168.087 - -
32. PSII 1905 152.820 - -
33. Masyumi Baru 152.589 - -
34. PNBI 149.136 - -
35. PUDI 140.980 - -
36. PBN 140.980 - -
37. PKM 104.385 - -
38. PND 96.984 - -
39. PADI 85.838 - -
40. PRD 78.730 - -
41. PPI 63.934 - -
42. PID 62.901 - -
43. Murba 62.006 - -
44. SPSI 61.105 - -
45. PUMI 49.839 - -
46. PSP 49.807 - -
47. PARI 54.790 - -
48. PILAR 40.517 - -
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Jumalah 105.786.661 462 462
-----------------------------------------------------------------------------------------------

Catatan:
Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17 persen dari suara yang sah.
Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara sah.

Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.

Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terba-nyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu 1971.


Bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu-pemilu tersebut merupakan pengalaman yang berharga. Sekarang, apakah pengalaman itu akan bermanfaat atau tidak semuanya sangat tergantung pada penggunaannya untuk masa-masa yang akan datang. Pemilu yang paling dekat adalah Pemilu 2004. Pengalaman tadi akan bisa dikatakan berharga apabila Pemilu 2004 nanti memang lebih baik daripada Pemilu 1999. Pemilu 1999 untuk banyak hal telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman tersebut, sudah seharusnyalah kalau Pemilu 2004 mendatang lebih baik lagi.